YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Senin, 23 September 2013

Papap

This is a story bout my dad.

Seperti yang bisa kalian lihat, aku pernah menceritakan tentang kehidupanku bersama papap di blog sebelum ini. Tapi setelah 27 Juli 2013 lalu, aku mulai bisa memandang semua hal tentang papap dari sisi lain. Dari sisi papap.
Mungkin aku terlalu menekankan keinginan aku untuk sedikit dibebaskan dalam bergaul dengan teman-teman.   Pulang agak malam, malam mingguan, buka puasa bersama di luar, sering mengajak pacar ke rumah dan juga sering mengunjungi rumah pacar.
Sebenarnya agak berat mengetik ini..  Tadinya aku men-deadline-kan sebelum 40 harian papap, karena katanya selama 40 hari pertama papap masih ada di sekitar kami. Walaupun sebenarnya aku percaya sampai kapan pun papap akan selalu ada di dekat kami. Aku ingin papap membaca saat aku menulis ini. Semoga tulisan ini bisa juga bermanfaat untuk yang membaca.
Beberapa hari sebelum papap pergi.

Papap kerja seperti biasa, berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 4 sore. Hari itu aku sedang membantu mama membuat orderan kue lebaran. Di rumah ada ibu, ibu adalah orang yang mengasuh aku sejak aku masih bayi merah, bayi yang baru beberapa hari dilahirkan. Ibu juga membantu membuat kue. Sepulangnya dari kantor, papap langsung memberikan fotokopian tentang “Bahayanya Tidur Setelah Sahur” yang di kutip dari  kompas(dot)com.  Aku yang sudah terbiasa sehabis sholat subuh langsung tidur lagi hanya membacanya sekilas tanpa mengamalkannya. Aku cuma menempelnya di mading kamarku. Papap ternyata punya banyak fotokopiannya, kata papap, kasih satu buat ibu. Aku masukkan ke kantung yang akan dibawa ibu pulang. Lalu akhirnya aku lupa pada kertas itu.

Sehari sebelum papap pergi.
Jam 10 pagi aku sedang di teras rumah bersama ibu, bikin kue lebaran lagi. Aku kaget melihat papap sudah pulang jam segitu, biasanya kan pulang jam 4 sore. Waktu aku tanya kenapa, papap seperti biasa selalu bercanda, “Cuti”, katanya sambil tertawa. Papap lalu membereskan rumah dan menggelar karpet, karena hari ini rencananya akan di adakan khatam Al-Qur’an dan buka bersama denga n ustad beserta keluarganya di rumah. Setelah itu papap mandi dan pamit ke masjid untuk  sholat jum’at.
Aku menghabiskan waktu dengan membuat kue sampai agak sore, lalu aku mandi dan berganti pakaian dengan hijab. Semua berlalu begitu saja, semua tampak normal. Aku bahkan sempat bercanda dengan papap saat papap menggelar karpet. Lalu aku diminta mama untuk membungkus coklat di plastik kecil-kecil untuk camilan yang ikut khatam Al-Qur’an di rumah.  Lalu Tia datang ke rumah, aku minta Tia membantu membungkus coklat. Setelah beres aku minta Tia memfotokan aku yang (kebetulan) sedang mengenakan hijab. Mama melihat dan mengajak foto bersama dengan papap juga. Lalu kami foto bertiga. Kami difoto tiga kali, yang pertama dan kedua selalu gagal. Yang pertama mamanya merem, yang kedua papapnya lagi ngomong. Yang terakhir papap kalem sekali difotonya, kami semua tersadar setelah papap gak ada, baru sekali papap difoto dengan sangat kalem seperti itu.
Setelah khatam Al-Qur’an selesai, kami menyiapkan menu untuk berbuka puasa. Tak lama ustad beserta keluarganya datang lagi ke rumah, dan kami berbuka puasa bersama. Setelah selesai sholat maghrib, kami menyantap makanan, walaupun aku sedang tidak berpuasa, acara dilanjut sholat isya dan tarawih berjamaah. Aku yang sedang berhalangan hanya diam di kamar sambil mengasuh baby-nya ustad. Sampai sekitar pukul 10 malam kami mengobrol.. Aku tidak terlalu ingat karena waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan obrolan, ternyata selama mengobrol papap membicarakan usia. Sebentar lagi papap pensiun lah, apa lah.. Memang kalau sudah tidak ada, baru kita akan menyadari setiap makna dari ucapannya.
Malam itu sekitar pukul 12 malam aku masih bangun, dan sedang twitteran dengan Nicky. Kami sedang bercanda.. “Parasut itu bahasa sundanya kalah, ya?”, kata Nicky. Aku bingung, mungkin maksudnya lasut. Tapi bukannya lasut itu gagal, ya? Aku bingung dan aku ke belakang. Papap memang lebih banyak menghabiskan waktu di belakang. Karena disana ada mushola papap, dari kecil aku dan keluarga selalu menyebutnya “Assalamualaikum”. Mungkin agar terbiasa setiap masuk mengucapkan salam. Dan biasanya juga papap mencuci baju dari jam 8 dan beres jam 2 subuh baru papap tidur. Mungkin karena papap insomnia, atau karena sudah kebiasaan, entahlah. Aku menghampiri papap dan bertanya,
“Pap, bahasa sundanya ‘kalah’ apa?”
Papap menjawab, “Eleh, atuh..”
Aku bertanya lagi, “Kalau ‘lasut’, bisa? Bukannya itu artinya ‘lepas’?”
“Bisa juga, sih..” dan blablabla… Karena aku merasa jawaban tadi sudah cukup, lalu aku bilang
“Oh, iya iya.” Sambil seraya kembali ke kamar. Padahal papap sepertinya masih hendak menjelaskan.
Dan itu lah last conversation aku sama papap. Anak macam apa aku.. disaat-saat terakhir cuma bisa bertanya seperti itu….
Kalau gak salah sekitar pukul 2 aku masih bangun, online. Lampu kamar masih kubiarkan menyala. Papap seperti biasa kalau mencucinya sudah beres, pasti ke kamar aku untuk menyalakan hit elektrik. Sejak saat dulu aku terkena demam berdarah dua kali, papap khawatir sekali aku kena db lagi sehingga di rumah selalu sedia hit elektrik. Kalau dulu sebelum ada elektrik papap selalu sedia baygon bakar, tapi karena asapnya membuat asmaku kambuh, papap gak pernah pakai itu lagi. Bahkan dulu papap pernah membuatkan kelambu yang di tempel di atas kasur. Teman-temanku suka meledek aku kayak ayam dikurungin, ada juga yang menakut-nakuti aku seperti Suzana di film terakhirnya karena ada scene Suzana sedang duduk di kasur yang berkelambu. Setelah beberapa tahun aku pun berani mencopot kelambu tanpa izin dulu sama papap, dengan alasan mau renovasi kamar. Padahal aku sudah bosan juga tidur dibawah kelambu. Mungkin papap sedih ya waktu itu, karena papap membuatnya sendiri sewaktu papap libur kerja. Dari pagi sampai sore baru selesai. Dan aku mencopot kelambu itu dengan santainya. Jahat sekali aku.
Banyak. Banyak sekali yang aku sesali. Beberapa tahun terakhir teteh memang menitipkan papap padaku, katanya papap kan udah tua, jangan sering dibiarkan kecapean. Aku cuma kadang-kadang saja membantu mencuci pakaian dan juga piring, apalagi menyapu dan mengepel. Aku merasa sudah cukup sibuk dan cape dengan kuliah dan kegiatanku sehari-hari. Padahal ya kerjaanku hanya itu-itu saja, pasti lebih berat kerjaan papap dan mama. Aku menyesal karena di minggu-minggu terakhir aku malah sering sekali bertengkar dengan papap. Karena aku mengikuti egoku. Aku ingin dibebaskan dan akan selalu membangkang sampai hal itu terjadi.

Aku memang sudah memiliki feeling akan ini. Aku selalu gelisah setiap melihat mobil ambulans, aku selalu memperhatikan saat akan membangunkan papap dan mama, apakah masih bernafas atau tidak, kalau papap dan mama belum pulang di jam-jam biasanya selalu aku sms dengan nada khawatir, kalau papap dinas malam selalu aku sms, aku ingatkan untuk makan dan jangan tidur terlalu malam.
Papap selalu terlihat berat saat melepas aku kuliah. Kalau aku masuk pagi, aku selalu bareng papap naik motor, dan aku pasti minta diturunkan di Istana Plaza agar papap tidak terlambat. Dari IP aku naik angkot. Setiap kali aku bilang,
“Papap duluan aja, nanti telat. Bentar lagi juga angkotnya dateng.”
Papap selalu saja malah mematikan mesin motor, menstandarkannya, dan selalu bertanya,
“Ongkosnya cukup? Ada receh ga buat di angkotnya?”
Dan sebelum aku jawab pun papap sudah mengambil recehan untuk aku bayarkan di angkot.
Setelah angkot datang, aku masuk, melambaikan tangan, dan entah hanya perasaan aku atau memang begitu, aku rasa wajah papap selalu terlihat sedih.

Hari kejadian.
Malam saat aku masih bangun dan tweeting, papap ke kamarku, menyalakan hit, dan bilang,
“Tidur, udah malem.”
Aku cuma jawab, “Iya, nanti.”, sambil tetap asik dengan handphone.
Tapi aku sempat saling bertatap dengan papap, papap melihatku dengan cara yang berbeda, tidak seperti biasanya. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati, kenapa, ada apa, tapi setelah itu papap tidak mengucapkan apa pun dan pergi ke tempat tidurnya.
Aku pun ketiduran. Aku terbangun mungkin sekitar pukul 2 subuh, aku merasa kesulitan untuk tidur kembali. Dan aku tiba-tiba teringat, kalau dulu aku gak bisa tidur pasti di usap-usap kepalanya sama papap sambil dibacakan doa dan sholawat. Aku pasti langsung tertidur. Aku sudah mau ke kamar papap dan mama untuk meminta di usap-usap, tapi aku pikir, masa aku mengganggu tidur papap. Aku mengurungkan niatku dan mencoba tidur kembali. Sebelum tertidur aku mendengar papap ngelindur. Seperti sedang berbicara dengan seseorang, tapi aku tak ambil pusing karena papap memang sering ngelindur, dan disebelah papap kan ada mama. Kalau ada apa-apa pasti mama tersadar.
Sekitar pukul setengah 4 pagi aku terbangun lagi. Aku ingat obrolanku dengan Tia semalam, aku bilang walaupun aku sedang tidak berpuasa, aku akan bangun saat sahur untuk ikut main #mynameis. Tapi entah kenapa aku tiba-tiba mengantuk lagi, aku pun memutuskan untuk kembali tidur. Samar-samar aku mendengar suara sendok yang bersentuhan dengan piring, papap dan mama sedang sahur. Tak lama aku tidak lagi mendengar dan mengingat apapun. Aku tertidur lagi.
Entah hanya imajinasiku, atau aku memang bermimpi. Kepalaku di usap-usap oleh papap sambil dibacakan doa dan sholawat seperti dulu lagi. Aku merasa tenang dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin aku tertidur lelap saat itu.
Sampai akhirnya aku terkaget-kaget sekitar pukul setengah 6 pagi. Mama teriak-teriak memanggil namaku dengan nada yang penuh kecemasan dan hampir menangis. Aku serentak lompat dari kasur dan menuju sumber suara, kamar mereka. Aku mulai tersadar, aku jelas sekali melihat papap yang sedang tertidur dan mengerang seperti kesakitan. Tapi tetap dengan posisi tertidurnya yang seperti biasa. Mama berteriak-teriak panik sambil menuntun papap mengucapkan Allah.. Allah..
Aku seketika membatu dan merasa 15 tahun lebih muda, aku merasa seperti anak kecil yang tidak tahu harus berbuat apa. Kakiku lemas. Badanku merinding. Pikiranku kosong. Aku lompat ke kasur sambil memegang tangan papap. Aku takut. Aku meminta maaf pada papap, dan meminta papap untuk jangan meninggalkan aku. Lalu aku melihat papap menangis. Iya, papap menangis. Seumur hidup hanya dua kali aku melihat papap menangis. Saat tetehku menikah dan saat itu. Aku mendengar detak jantungnya masih ada, badannya masih hangat, tapi papap masih magap-magap. Mungkin kesulitan bernapas. Mama menyuruhku memanggil tetangga. Aku seketika lari ke rumah tetangga, tidak peduli aku pakai sendal yang mana, pagar pun aku biarkan terbuka, aku panik. Sambil berlari aku berjanji pada Allah, jika papap disehatkan aku berjanji akan selalu nurut sama papap, ga akan membangkang lagi, aku akan jadi daddy’s little girl yang baik. Aku berjanji. Saat aku sampai di rumah, mama sedang panik menelfon saudara dan tetangga yang dekat dari rumah. Tak lama mereka berdatangan. Aku dan mama yang masih optimis menyiapkan segala perlengkapan untuk pergi ke rumah sakit, mama menyuruhku mencarikan tas papap. Karena disitu pasti tempat KTP, ATM, dan uang cash. Aku tidak sadar kenapa tas papap begitu mudahnya aku temukan, biasanya disimpan di Assalamualaikum, tapi waktu itu ada di atas meja di depan Assalamualaikum. Aku sempat melongok ke dalam tas untuk mengecek KTP dsb, aku melihat segepok uang. Padahal setiap kali aku meminta uang, papap seringkali bilang gak ada uang. Tapi aku tidak memikirkan hal itu terlalu jauh. Aku berikan tasnya pada mama. Aku lemas dan hanya bisa duduk di kamarku sendiri sambil berdoa.
Entah kenapa tapi aku memang sudah merasa bahwa hal ini akan terjadi dalam waktu dekat. Aku selalu berpikir aku harus siap, karena kematian akan menghampiri semua jiwa yang hidup. Tapi aku tidak menyangka akan datang secepat ini.. Uwa yang semalam ikut buka bersama di rumah pun tiba, kebetulan beliau seorang mantri, jadi mengerti hal seperti ini. Beliau mengecek keadaan papap dan mengatakan kalau papap.. pingsan. Aku dan mama otomatis merasa lega, tapi aku setengah percaya. Karena wajah uwa tidak menunjukkan ekspresi ketenangan.
Tak lama ustad yang semalam pun datang, bersama ayahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena aku diam di kamarku bersama beberapa ibu-ibu pengajian. Yang aku dengar, ustad memegang nadi di leher papap, dan ayahnya memegang nadi di kaki papap. Ustad bertanya pada ayahnya,
“Yah, masih ada?”
“Masih, nak.”, jawab ayahnya.
Lalu ustad berbisik pada papap, “Bapak Lucky, kalau bapak mau pergi, silakan. Kami ikhlas.”
Dan ustad bertanya lagi kepada ayahnya, “Yah, masih ada?”
“Sudah tidak ada, nak.”
Aku keluar kamar. Aku melihat ibu-ibu sedang menggelar karpet. Aku berfikir, untuk apa karpet digelar? Lalu aku bertanya. Padahal aku tahu itu adalah pertanyaan retoris.
“Kenapa karpetnya digelar?! Kenapa?!”
Ibu-ibu menjawab sambil  lirih.. “Biar lega, ya, de. Biar ga hareudang.”
Aku tahu mereka berbohong.
Aku ingin menerobos masuk ke kamar papap, tapi Tante Sumi mengahalangiku dan memelukku. Seketika aku jatuh, kakiku lemas, pandanganku kosong. Aku cuma bisa berteriak,
“Bohong… bohong….”
Aku tahu mereka menggelar karpet bukan supaya lebih lega. Aku tahu kenapa. Tapi aku tetap belum bisa menerima kenyataannya..
Dan aku mendengar mama berteriak sambil menangis.. “Papap udah gak ada?!”
Aku gak akan pernah bisa lupa suara itu. Suara kesedihan mama.
Mama meracau, “Papap kan belum umrah.. tahun depan baru mau.. kan mau umrah bareng anak-anak.. belum haji..”
Aku tidak sanggup menatap mama, aku ditarik Nicky ke kamar. Aku menangis. Aku cuma bisa menangis. Menyesali. Merindukan. Memaafkan. Dan mengikhlaskan.

Ketika aku memeriksa 'Assalamualaikum', aku menemukan print-an atm. Dan aku seketika menangis kembali ketika melihat tanggal dan jumlah penarikan. Tanggal penarikan tepat sehari sebelum papap meninggal, dan jumlahnya seluruh isi tabungan papap. Berarti uang yang ada di dompet itu uang dari atm papap.. Ini lah feeling orang yang akan meninggal, ya..

Beruntunglah kalian yang masih memiliki orang tua lengkap. Jaga. Perhatikan. Sopanlah. Nurut. Berbakti. Sayangi. Jangan sampai menyesal seperti aku.
Aku selalu mencoba tetap ceria seperti biasanya. Untuk mengalihkan pikiranku, aku menganggap papap sedang dinas malam, atau sedang wisata bersama kantornya. Aku selalu berpikir bahwa setiap malam papap selalu tidur di kamarnya, dan setiap jam sholat selalu ada di Assalamualaikum. Sikat gigi papap di kamar mandi tak pernah kubuang kubiarkan saja agar aku selalu merasa kalau papap masih menggunakan kamar mandi itu. Aku selalu merasa tenang di rumah karena aku berpikir papap masih disini. Papap ada disini. Menjaga kami, memperhatikan kami. Setiap kali aku tak bisa tidur karena resah, aku takut akan suara-suara, aku baca doa, atau surat-surat pendek. Aku berdoa pada Allah dan aku berpikir bahwa papap selalu ada menjaga kami, aku kembali tenang. Aku membohongi diriku sendiri dengan menganggap papap masih ada. Itu kulakukan agar aku tidak menangis setiap hari. Walaupun saat tersadar dari kebohonganku sendiri, aku akan menangis cukup lama.
Aku kangen papap.
Maaf selama ini aku selalu merepotkan papap.
Membuat papap kesal dan kecewa.
Sering membangkang saat papap melarangku untuk main.
Aku kadang berbohong agar bisa pulang agak malam.
Aku selalu membuat papap menunggu untuk menjemputku, sejak SMK sampai aku kuliah.
Papap tak pernah marah walau menungguku selama 4 jam di sekolah..
Aku kangen papap.
Yang tak peduli dengan topi “bertani”nya saat mengendarai motor.
Yang selalu membahas kacamata hitam kesayangannya yang aku hilangkan saat SMP.
Yang terkadang mengeluh saat melihat makanan, daging lagi daging lagi. Mungkin papap sudah gak enak makan ya.. atau sudah kesulitan untuk mengunyah. Mama sering kali membuat daging. Papap pernah bilang, “Udah umur segini harusnya makan sayur.”
Maaf ade belum jago masak aneka sayur yang papap mau.
Maaf ade kadang suka males nyiapin papap minum kalau papap pulang kerja.
Maaf ade kadang ga ngedengerin jokes papap karena garing.
Maaf ade tiap beliin kado belum pernah barang yang mahal.
Maaf ade selalu memaksakan kehendak ade.
Maaf ade egois.
Masih banyak maaf-maaf lainnya, pap.. Papap mau kan maafin ade?:’(
Salam kangen, dari ade, mama, dan teteh. We love you, forever. Thanks for everything.

our last photo shoot, 26th July 2013



1 komentar:

  1. selamat jalan Pak Lucky, saya tidak pernah mengenal Pak Lucky secara langsung, tapi jauh dari lubuk hati saya.. saya mengagumi pak lucky sejak pertama bertemu...

    BalasHapus